Monday, November 1, 2010

Sang Kaisar yang Bijaksana


share on facebook
Font Re-Size
Pada zaman dahulu kala, ada seorang kaisar bernama Yao. Demi agar kaisar Yao bisa menunjukkan keperkasaannya sebagai kaisar, dan juga demi untuk menyatakan rasa cinta dan hormat rakyat terhadap kaisar, para menteri ingin membangun sebuah istana untuk Yao. Bahkan bermaksud membangun istananya dengan menggunakan emas sebagai lantai dan batu giok sebagai undakan, batu pualam sebagai pondasi, dan bahkan di bagian puncak harus bertatakan istana matahari, bulan dan bintang-bintang yang terbuat dari perak.

Ketika Yao mengetahuinya, ia mengatakan: “Istana memang harus dibangun, namun mesti bagaimana model bangunannya, saya mempunyai pandangan sendiri.”


Lalu, Yao memimpin para menterinya mengerjakan sendiri membawa batang kayu dan ilalang yang besar dari gunung, membangun beberapa pondok ilalang, dan akhirnya selesailah istana peristirahatannya. Kemudian membangun lagi lebih dari 20 kamar yang berhubungan langsung dengan pondok ilalang besar, dan akhirnya rampunglah istana besar yang digunakan untuk membicarakan urusan resmi dengan para menterinya.

Satu per satu para menteri istana mengemukakan pendapatnya, mengatakan: “Paduka tinggal di pondok ilalang yang demikian tidak ada bedanya dengan rakyat biasa, lalu bagaimana bisa menunjukkan kewibawaan dan kemuliaan Anda, paduka?”

Tetapi Yao menjawabnya: “Rakyat jelata sekarang sangat menderita, membangun istana yang mewah dengan memboroskan uang dan tenaga kerja, lalu apa yang dibanggakan raja yang dapat menimbulkan penderitaan di dunia manusia! Memberi perhatian dan bantuan untuk rakyat, baru merupakan hal yang seyogianya dilakukan oleh raja. Selesai bicara, ia membawa beberapa menteri pergi ke berbagai tempat meninjau keadaan rakyat.

Di hari pertama, Yao melihat seorang penduduk gunung terjatuh di pinggir jalan dan merintih, lantas dengan simpati bertanya: “Kamu kenapa?” Dengan lemas orang gunung itu berkata: “Lapar.” Yao lalu mengeluarkan makanannya sendiri kemudian diberikan padanya: “Makanlah, sayalah yang telah membuatmu menanggung lapar!”

Saking terharunya penduduk gunung berlinangan air mata, dan dengan lahap mulai menyantap makanan yang diberikan Yao. Saat itu Yao berkata pada menteri-menteri yang menyertainya: “Keluarkan sebagian dari ransum makanan saya, dan bagikan kepada orang yang lapar.” Para menterinya bertanya: “Lalu, bagaimana dengan Anda?” Yao menjawab: “Saya makan sedikit yang encer (bubur), makan agak banyakan sayuran hutan, itu sudah cukup.” Setelah para menteri mendengarnya, kemudian meniru cara Yao, mengeluarkan sebagian makanan dari ransum makanan masing-masing, dan dibagikan pada orang yang lapar.

Pada hari kedua, Yao dan menteri-menteri yang menyertainya tiba lagi di depan sebuah gua, dengan maksud hendak meminum seteguk air di sana. Dari dalam gua sayup-sayup terdengar suara seorang wanita: “Rumah kami tidak ada orang, kalian jangan coba-coba masuk.” Para menteri berkata: “Nona jangan takut, raja telah datang, cepat bukalah pintunya.” Si wanita itu gelisah hingga hampir menangis: “Tidak, tidak”

Di saat itu, dari tempat jauh seorang kakek yang membawa kayu bakar datang menghampiri. Sorang tua itu mendekati meletakkan kayu bakar dan dengan perasaan menyesal berkata: “Maaf, wanita di dalam gua itu adalah putri saya, si sulung ini tidak kecil lagi, tidak ada celana untuk dipakai, jadi ia…..”

Begitu Yao mendengar kata-kata ini, bola matanya berkaca-kaca, lalu segera membuka buntalannya dan mengeluarkan sepotong celana, kemudian diberikan pada ayah si wanita. Si kakek menolak dengan mengatakan: “Bagaimana boleh kami menerima celana Anda!” Dengan sedih Yao berkata: “Saya tidak mengurus negeri dengan baik, sehingga membuat putrimu tidak ada celana untuk dipakai, dan saya merasa sangat berdosa pada kalian!” Saking terharunya si kakek, lalu menangis terisak-isak, wanita yang berada di dalam gua dan menteri-menteri yang berada di luar juga ikut menangis.

Selanjtnya dalam perjalanan kembali ke istana, melewati sebuah kota kecil, Yao mendapati seorang penjahat terkepung, dan memrotes di jalanan, lantas menghampiri dan bertanya pada petugas: “Kesalahan apa yang telah saya lakukan?” Si petugas menjawab: “Mencuri makanan. Mengapa kamu mencuri makanan?” si penjahat menjawab: “Di tempat kami dilanda kekeringan, sebutir padi pun tidak panen.” Mendengar masalah itu, lantas Yao berkata pada petugas: “Ikat jugalah saya, karena sayalah yang menyebabkannya melakukan kejahatan.”


Petugas dan para menterinya buru-buru berlutut. Seorang menteri berkata: “Ia melakukan kejahatan karena kekeringan tidak ada makanan untuk dimakan, tidak ada hubungannya dengan Anda!” Dengan serius Yao mengatakan: “Rakyat jelata tidak berdaya melawan bencana, adalah tanggung jawab saya, yang tidak ada makanan lantas mencuri, juga karena saya tidak membimbing dengan baik. Lantas bagaimana bisa mengatakan tidak ada hubungannya dengan saya?” Lalu, Yao memerintahkan menteri-menterinya untuk mengikat dirinya, dan berdiri di sisi penjahat. Rakyat jelata dari segala penjuru berbondong-bondong datang menyaksikan, dan saking terharunya mengeluarkan air mata.


Tiba-tiba, di antara kerumunan orang-orang muncul puluhan orang, dan berlutut di hadapan Yao, sambil bicara mengucurkan air mata masing-masing dengan jujur mengakui perbuatan jahat yang pernah dilakukan dulu, dan semuanya atas inisiatif sendiri menyatakan bersedia menerima hukuman.

Setelah Yao kembali dari peninjauan melihat keadaan rakyat, di dalam balairung besar pondok ilalangnya berkata pada menteri-menterinya: “Ada orang menahan rasa lapar, ada orang yang tidak mempunyai pakaian, ada yang melakukan kejahatan, semua ini adalah kesalahan saya, saya harus “memaklumatkan kesalahan sendiri” pada rakyat untuk memeriksa kesalahan saya. Menteri-menterinya bagaikan dipanggang di atas kuali bergantian berkata: “Kehidupan rakyat tidak baik, adalah karena bencana alam terlalu banyak, dan pada masa sulit, rakyat sipil seyogianya bisa bersabar.” Namun Yao mengatakan: “Kehidupan rakyat tidak baik, tidak bisa menimpakan semua tanggung jawab karena bencana alam, namun sudah sewajarnya introspeksi diri. Saya tidak boleh menyalahkan rakyat karena tidak bisa menanggung derita, seharusnya memikirkan dalam segi apa saja telah melakukan kekeliruan di saat saya mengurus pemerintahan dan negeri ini?”


Beberapa hari kemudian, di sisi kiri pintu gerbang istana, Yao mendirikan sebuah “gendang teguran”, orang-orang boleh menabuh gendang mengusulkan pendapatnya pada Yao. Kemudian di sisi kanan pintu gerbang istana Yao memerintahkan orang membuat sepotong “papan penghujat”, di mana rakyat sipil boleh mencerca kekeliruan Yao dari samping.


Oleh karena Yao sangat mencintai rakyat jelata, selalu saja memberi perhatian untuk rakyat, hidup sederhana dan jika menemui masalah pertama-tama terlebih dahulu memeriksa dan mengoreksi kesalahan sendiri, karena itulah Yao sangat dicintai rakyatnya. Dan secara berangsur-angsur rakyat di seluruh negeri hidup serba berkecukupan baik sandang maupun pangan. Segenap rakyat merasa terharu, dan di mana-mana pasti bisa mendengar pujian terhadap Yao.

"Kebajikan seorang Pembesar laksana angin, dan Kebajikan Rakyat laksana rumput; kemana angin bertiup, kesitu rumput mengarah" 
Sabda Suci XII : 20

Please write a comment after you read this article. Thx..!!

0 comments:

Post a Comment