Friday, October 29, 2010

Refleksi Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia


share on facebook
Font Re-Size
Oleh : Rio Bembo Setiawan

Eksistensi Konghucu di Indonesia ditenggelamkan selama 32 tahun. Tapi di era reformasi eksitensi itu dapat muncul lagi ke permukaan.

Sabtu, 27 Januari 1979 bak hari kelam bagi umat Konghucu. Sebuah kabar buruk muncul pada sidang kabinet yang berlangsung hari itu; Konghucu bukan agama. Siar ini, diterima atau tidak ketika itu, telah menempatkan status Konghucu di Indonesia ke posisi abu-abu. Tak jelas. Padahal secara de jure, saat itu masih ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan menyangkut nasib Konghucu.



Peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1969 mengakui ada enam agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. UU ini mengatur sama persis dengan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Kedua peraturan ini semakin dikuatkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyaratkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Tapi, tiba-tiba saja muncul Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Padahal, saat SE ini diterbitkan, UU Nomor 5 Tahun 1969 dan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun1965 belum dicabut.



"Perjalanan kelam tentang keberadaan Konghucu di Indonesia belum banyak diketahui generasi sekarang. Tapi waktu juga yang akhirnya berbicara untuk meluruskan lagi kenyataan yang ada," terang Ketua Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Candra Setiawan.

Ironisnya lagi, 12 tahun kemudian pemerintah melalui Mendagri kembali menerbitkan surat serupa bernomor 77/2535/POUD, tanggal 25 Juli 1990. Pada 28 November 1995, keluar juga Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 yang menyatakan bahwa hanya lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha.

Namun menariknya, seperti dikatakan Sekretaris Umum Matakin, Uung Sendana, meski peraturan itu merupakan bentuk persekusi atau penindasan terhadap umat Konghucu, Matakin sama sekali tak dibubarkan oleh pemerintah. "Matakin berhasil bertahan hidup sepanjang 32 tahun kekuasaan Soeharto. Hanya roda organisasi tersekat seperti pepatah hidup segan mati tak mau," terangnya.

Kisah kelam selama lebih dari tiga dasawarsa ini baru berakhir di masa pemerintahan Abdurrachman Wahid. Di era kekuasaannya yang singkat, Presiden Gus Dur membuat terobosan dengan mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95.

Tindakan ini memberi pesan bahwa, "Tak ada lagi istilah agama yang diakui dan tak diakui pemerintah. Juga tak ada lagi pengakuan negara terhadap agama. Umat Konghucu dan orang-orang Tionghoa non-Khonghucu bisa bebas berekspresi. Termasuk Matakin yang langsung berbenah diri memulihkan eksistensinya untuk berdiri sejajar dengan agama lainnya di Indonesia," terang Uung.

Pada Oktober 2007, kebebasan beragama umat Konghucu ini semakin jelas dan tegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Perihal pendidikan agama Konghucu di jalur sekolah formal, nonformal, dan informal diatur pada Pasal 45. Sementara untuk jalur tenaga pendidiknya diatur oleh Pasal 47 PP tersebut.








sumber : Kabar Indonesia 24 Januari 2008




Please write a comment after you read this article. Thx..!!

0 comments:

Post a Comment