Saturday, December 4, 2010

[Dongeng] Mengapa Beo Menirukan Suara?


share on facebook
Font Re-Size
Dahulu kala, hewan-hewan di hutan bisa berbicara seperti manusia. Mereka bercakap, bekerja sambil bercakap, juga hidup rukun dan damai. Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga Hutan mengumpulkan penghuni rimba. Ia berkata, “Anak-anakku, Sang Pencipta telah menciptakan makhluk baru. Namanya manusia. Sang Pencipta memutuskan bahwa manusialah yang akan berbicara dengan bahasa kita. Dan kita diperintahkan untuk mencari bahasa dan suara baru untuk kita pakai mulai saat ini.”

Pada mulanya para penghuni rimba terkejut. Namun mereka sadar bahwa tidak mungkin menolak kehendak Sang Pencipta.

“Ibu Peri Penjaga Hutan, kami tunduk kepada kehendak Sang Pencipta. Tapi sekarang kami belum bisa mencari bahasa baru untuk kami pakai. Berilah kami waktu,” ujar Singa mewakili teman-temannya.

“Aku mengerti. Kalian diberi waktu satu minggu. Kalian akan berkumpul lagi disini dan memberitahu padaku bahasa apa yang kalian pilih. Setelah itu, pakailah bahasa serta suara itu, dan lupakan bahasa manusia.”

Maka pulanglah penduduk hutan ke tempat masing-masing. Mereka mulai berpikir keras untuk mencari suara yang gagah dan cocok untuk mereka masing-masing.

Begitulah, hari demi hari penduduk hutan sibuk bersuara. Mencari-cari suara yang akan mereka pakai selanjutnya. Singa yang telah dinobatkan sebagai raja hutan karena keberaniannya, lebih dahulu memilih suara mengaum.

“Aouuuuum,” katanya dengan gagah memamerkan suaranya. Penduduk hutan yang lain senang mendengarnya. Mereka merasa suara itu pas benar dengan bentuk tubuh singa yang gagah.

Tapi tidak semua hewan senang mendengarnya. Burung Beo yang usil malah menertawakan suara itu.
“Hahaha, mirip orang sakit gigi,” cetus Beo sambil tertawa terbahak-bahak. 
Singa sangat malu mendengarnya. 

Begitulah, hari berganti hari, semuanya mencoba berbagai suara kecuali Beo. Ia sibuk mengejek suara-suara yang berhasil ditemukan.

“Hahaha, seperti suara pintu yang tidak diminyaki,” ejek Beo kepada Jangkrik yang menemukan suara berderik. 

“Hahaha, kudengar nenek-nenek tertawa,” ejeknya kepada Kuda.

“Ban siapa yang bocor? Hahaha,” ia menertawakan suara desis Ular. 

Begitulah pekerjaan Beo setiap hari. Ia sibuk mengintip dan menertawakan penduduk hutan lainnya yang mencoba suara baru. Teman-temannya tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka malu dan langsung menghindar dari Beo. Tapi Beo selalu berhasil menemukan dan menirukan suara mereka.

“Mbeeeek,” tirunya ketika melihat Kambing. 
“Ngok-ngooook,” tirunya ketika melihat Babi. 

Tak terasa sudah satu minggu. Penduduk hutan harus berkumpul kembali untuk mengumumkan suara yang mereka pilih. 

Ibu Peri Penjaga Hutan memanggil mereka satu per satu. Beo saja yang masih saja tertawa. Ia pikir teman-temannya bodoh, karena suara yang mereka temukan lucu-lucu.

Tibalah giliran Beo untuk mengumumkan suara barunya. Ia maju ke depan. 
“Mbeeeek,” jeritnya. 
“Hei itu suaraku,” kata Kambing. 

Yang lain tertawa. Beo tertegun. Ia baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk mengejek teman-temannya sehingga lupa untuk mencari suaranya sendiri.

“Muuu,…guk-guk,…meong,” Beo panik. Ia menirukan saja suara yang pernah ia dengar. Tentu saja Sapi, Anjing, dan Kucing tertawa terbahak-bahak.

Beo sangat malu. Akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia minta maaf kepada teman-temannya. Dengan tersenyum Ibu Peri Penjaga Hutan berkata, “Sudahlah, kamu akan tetap kuhadiahkan sebuah suara. Tapi sebagai pelajaran, kau akan tetap menirukan suara orang, sehingga kau akan ditertawakan selamanya.”

Begirulah riwayatnya, mengapa burung beo selalu menirukan suara-suara.




Pesan Moral:


Jangan pernah meremehkan ide orang lain atau dirimu akan seperti burung beo.








Please write a comment after you read this article. 


Thx..!! Tekan "Like" jika kamu menyukai artikel ini. 
Tekan "Share" atau "Tweet" jika menurutmu artikel ini bermanfaat untuk teman2 kalian.

0 comments:

Post a Comment