Wednesday, September 1, 2010

Mestinya Pemimpin Kita Belajar dari Konfusius


share on facebook
Font Re-Size
Alkisah, Shen Ren Kong Zi alias Konfusius sang Nabi ditanya salah seorang muridnya, Zi Lu. ”Guru, apabila saya mendengar suatu ajaran, haruskah saya segera melaksanakannya?” Konfusius menjawab setengah bertanya, ”Ayah dan kakakmu masih ada, mengapa harus kau laksanakan begitu saja?” Sementara saat murid lainnya, Ran Qiu, bertanya pertanyaan yang sama, Konfusius justru menjawab, ”Ya, segera dilaksanakan!”

Mendengar dua jawaban berbeda atas pertanyaan yang sama, murid Konfusius lainnya bingung dan bertanya, mengapa jawaban gurunya berbeda. ”Ran Qiu sangat lambat sehingga aku dorong. Zi Lu sangat tangkas, maka ia kutahan.”Petikan cerita tersebut ada dalam buku 5 Matahari, karangan Budi S Tanuwibowo. Buku yang berisi 28 kumpulan cerita pendek tersebut menyarikan banyak kearifan dan kebijakan yang diajarkan filsuf besar China, Konfusius, terkait seni memimpin, berpolitik, dan bermasyarakat.

Kisah Konfusius bersama ketiga muridnya ada dalam cerita berjudul Keseimbangan Gas dan Rem. Budi dengan cerdas menyarikan ajaran Konfusius soal keseimbangan itu dengan pola kepemimpinan. Sesuatu yang ironisnya tak terjadi belakangan ini di Indonesia. Pemimpin yang baik haruslah pandai menyeimbangkan gas dan rem. Terlalu memainkan gas, mesin bisa terlalu panas, tetapi main rem terus akibatnya lambat dan bahkan tak akan maju-maju.



Dalam diskusi peluncuran buku 5 Matahari di Jakarta, Sabtu (28/8), peneliti senior dari Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, mengatakan, pemimpin dan politikus di Indonesia memang perlu belajar dari nilai-nilai universal yang diajarkan filsuf semacam Konfusius.

Cerita tentang Konfusius dan tiga muridnya, bagi Sukardi, menggambarkan betapa pemimpin itu juga harus bisa tegas pada saat dibutuhkan. ”Pemimpin itu harus punya keberanian untuk menerobos, menyelesaikan masalah. Sementara di Indonesia, politisi malah lebih banyak bicara, tetapi sedikit bekerja,” ujarnya.

Lima matahari merupakan ilustrasi Budi terhadap sumber kehidupan yang hakikatnya dimiliki manusia, yakni matahari yang asli, zhi alias kearifan dan kebijakan, ren atau cinta kasih, yong alias keberanian, dan ilmu pengetahuan.

Menurut Sukardi, sangat jarang pemimpin dan politikus di Indonesia memiliki empat ”matahari” yang seharusnya menjadi ilham bagi kepemimpinannya.

”Mungkin sejak masa reformasi, baru Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Presiden Indonesia yang memiliki keempat matahari tersebut. Beliau mampu menggabungkan kearifan, cinta kasih, keberanian, dan ilmu pengetahuan,” katanya.

Padahal, sejak masa Yunani Kuno pun, Plato sudah jauh hari mengajarkan bahwa bukan pengusaha atau tentara yang layak menjadi pemimpin sebuah negara. ”Pengusaha itu yang dicari ya duit melulu, sementara kalau tentara kehormatannya terlalu tinggi. Yang cocok menjadi pemimpin itu, menurut Plato, ya, orang bijak seperti filsuf,” kata Sukardi.

Sosiolog Mely G Tan menilai, ajaran Konfusius masih sangat relevan untuk dijadikan teladan. ”Ajaran Konfusianisme itu pada intinya tentang hubungan raja dengan rakyatnya. Seorang raja memang harus didampingi filsuf,” katanya.

Mely melihat, kemajuan yang dicapai China sekarang ini juga tak lepas karena para pemimpin di negeri tersebut mau kembali menyelami pemikiran Konfusius setelah buku-buku karangan Nabi besar tersebut dibakar karena dianggap candu.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Slamet Effendi Yusuf juga mengatakan, Indonesia tak bakal krisis kepemimpinan seandainya banyak politikus belajar nilai-nilai universal Konfusianisme. (Khaerudin)


sumber : Kompas, Senin 30 Agustus 2010


Please write a comment after you read this article. Thx..!!

0 comments:

Post a Comment